Tragedi Kapal – Aku adalah seorang gadis dari Bali, sebut saja namaku Bunga. Aku anak pertama dari enam bersaudara, dan aku satu-satunya perempuan di antara mereka. Kehidupan keluargaku bisa dibilang cukup memprihatinkan secara ekonomi. Beruntung, aku bisa menyelesaikan SMA berkat beasiswa dari Yayasan Super Semar.
Aku sedih melihat kondisi keluargaku seperti ini. Ayahku hanyalah seorang pegawai negeri golongan II dengan gaji pas-pasan, sementara ibuku adalah ibu rumah tangga biasa yang tak punya keterampilan khusus. Tugasnya sehari-hari cuma mengurus anak-anak. Aku ingin sekali membantu ayah mencari uang tambahan. Tapi apa daya, aku cuma lulusan SMA. Meski begitu, aku tetap mencoba melamar pekerjaan di berbagai perusahaan di Denpasar. Hasilnya nol besar tak ada satu pun yang menerimaku. Aku paham, di tengah krisis ekonomi seperti sekarang, banyak perusahaan yang bangkrut. Yang bertahan pun terpaksa mem-PHK karyawan mereka.
Lalu, aku berpikir, kenapa nggak coba ke Jakarta saja? Kata orang, di ibu kota banyak lowongan kerja. Aku teringat tetanggaku, Monica. Dia katanya sukses besar di sana. Buktinya, kehidupan keluarganya berubah drastis. Dulu, rumah tangga Monica mirip banget sama keluargaku—serba kekurangan. Tapi sejak Monica merantau ke Jakarta, ekonomi mereka semakin membaik. Rumahnya sekarang permanen, perabotannya baru semua: kursi tamu mewah, tempat tidur empuk, TV 29 inci lengkap dengan antena parabola dan VCD. Aku ingin seperti dia. Toh, Mona juga cuma tamatan SMA. Kalau dia bisa, kenapa aku nggak? Aku harus optimis.
Suatu hari di bulan September 1998, aku pamit ke keluarga untuk merantau ke Jakarta. Meski berat, Papa dan Mama akhirnya merelakan aku pergi. Dengan bekal uang Rp 75.000 dan tiket kelas ekonomi yang ayah dapatkan dari hutang di kantor, aku meninggalkan desa tercinta di Bali. Dari desa, aku menuju Pelabuhan Benoa. Aku harus sampai sebelum pukul 6 sore karena KM Awu jurusan Tanjung Priok berangkat jam 19:00 WITA. Waktu satu jam seharusnya cukup untuk cari tempat nyaman di kapal. Tiketku nggak ada nomor kursi—maklum, kelas ekonomi—soalnya aku berharap bisa dapat ruang buat gelar tikar seukuran badanku.
Tapi sial, angkutan yang aku naiki telat banget. Jam sudah menunjukkan pukul 18:45 saat aku tiba. Waktuku cuma 15 menit! Kapal sudah sandar, dan aku lihat penumpang lagi berebut naik tangga. Aku termasuk yang terakhir. Dengan sisa tenaga, aku lari sambil gendong tas punggung yang isinya cuma tiga potong baju.
Akhirnya aku naik ke dek kelas ekonomi, tapi hampir semua ruangan sudah penuh sesak penumpang. Keringat bercucuran, ruangan terasa pengap karena napas orang-orang yang berdesak-desakan. Aku cuma bisa berdiri di depan pintu kamar bertuliskan “Crew”. Di sekitarku ada seorang ibu tua dengan dua anak laki-laki usia SD. Mereka tiduran di emperan, kelihatan bahagia karena bisa selonjor. Aku cari-cari celah buat jongkok. Untungnya, ibu tua itu baik hati dan mau geser kakinya sedikit. Sekarang aku bisa duduk, tapi sampai kapan aku tahan duduk begini? Perjalanan ini butuh dua hari dua malam.
Tak lama, KM Awu berangkat meninggalkan Pelabuhan Benoa. Hatiku agak lega, dan aku berdoa semoga perjalanan ini mengubah nasibku. Tanpa sadar, aku ketiduran. Aku terkejut bangun saat petugas minta tiket. Aku ingat tiket ada di tas punggungku. Tapi ya ampun, tasnya hilang entah ke mana! Aku panik, langsung cari-cari dan tanya ke ibu tua serta anak-anaknya, tapi mereka cuma geleng-geleng kepala.
“Cepat keluarkan tiketmu,” kata petugas dengan nada kasar.
“Aku kehilangan tas, tiket dan uangku ada di situ,” jawabku sedih.
“Hah, bohong! Itu alasan basi. Bilang aja kamu nggak beli tiket. Ayo ikut kami ke atas!” bentak petugas yang tampangnya seram itu.
Aku ditarik menuju dek atas, di mana seorang pria berseragam putih, yang katanya adalah atasan petugas tiket, sudah menungguku. Wajahnya keras dan tatapannya tajam. “Jadi ini orangnya? Beraninya naik kapal tanpa tiket?” suaranya menggelegar, memenuhi ruang di antara kami.
Aku mencoba menjelaskan, suaraku bergetar. “Tiket saya hilang, Pak. Bersama tas dan semua pakaian saya. Saya tidak bohong…”
Dia memotongku dengan tawa sinis. “Ah, itu alasan klasik, Nona. Sudah ratusan orang yang mencoba cara ini.”
“Kalau Bapak tidak percaya, saya terima,” kataku, entah dari mana datangnya keberanian itu. “Saya akan dihukum apa pun, yang penting saya bisa sampai Jakarta.”
Senyumnya melebar. “Bagus. Itu jawaban yang saya tunggu.”
Pria itu, yang mungkin berusia sekitar 45 tahun, memiliki perawakan tegap dan atletis. Meskipun rambut dan kumisnya mulai memutih, ia terlihat gagah. Dia menunjuk jarinya ke arah dahiku, seolah mengunci janjiku.
“Tapi ingat, kamu sudah berjanji akan melakukan apa saja.”
Aku mengangguk.
“Sekarang, mandi dulu sana. Handuknya di sana, kamar mandinya di sebelah kiri.”
Hatiku terasa ringan. Sikapnya yang tiba-tiba melunak membuatku terkejut. Aku tidak menyangka pria yang tadinya begitu galak bisa bersikap baik. Aku mengucap terima kasih, memberanikan diri menatapnya, dan menyadari bahwa ia punya wajah yang cukup tampan.
“Jangan panggil saya Bapak, panggil saya Kapten.”
Aku melirik lencana di seragamnya. Kapten Jacob.
Setelah berada di dalam kamar mandi, aku terpana. Kamar mandi ini wangi dan bersih. Aku menyalakan shower dan air segar membasahi tubuhku. Aku menggosok tubuhku dengan sabun beraroma lembut dan mencuci rambutku yang lengket. Rasanya seperti dilahirkan kembali.
Aku keluar 10 menit kemudian, masih bingung memikirkan pakaian apa yang harus kukenakan. Tiba-tiba, sebuah suara mengejutkanku.
“Cantik juga kamu.”
Sebelum aku sempat bereaksi, Kapten Jacob sudah memelukku dari belakang. Aroma cologne-nya tercium kuat. Aku terdiam, terlalu terkejut untuk melawan.
“Siapa namamu, Sayang?” bisiknya di telingaku.
“Bunga,” jawabku lirih.
Aku ingat janjiku. Aku tidak memberontak. Karena aku diam saja, tangannya mulai merayap, menjelajahi dadaku. Ciuman-ciumannya mendarat di leher dan telingaku. Aku menggelinjang, merasakan sensasi aneh yang belum pernah kurasakan. Di usia 19 tahun ini, aku memang tidak pernah punya pacar. Aku selalu menjaga jarak dengan laki-laki, meskipun banyak yang mendekatiku. Beasiswa yang kudapat karena kepintaranku membuatku menjadi incaran di sekolah.
“Ooohh… jangan, Kapten,” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku saat ia menyentuh bagian paling sensitif di tubuhku. Handukku jatuh ke lantai. Aku menyadari ia juga sudah telanjang.
Aku merasakan benda kenyal yang mengeras menyentuh bokongku. Napasnya yang hangat dan wangi memburu di punggungku. Tangannya yang tadinya berada di bawah, kini meremas payudaraku. Gairah yang tidak pernah kukenal seumur hidupku membuncah, membuat dadaku membusung.
“Oohh… aahh…” desahku panjang. Tubuhku seolah dikuasai oleh libido yang asing tapi begitu nikmat.
“Bunga, pegang ini,” kata Kapten Jacob, meraih tanganku dan menempelkannya di penisnya yang keras dan tegang. “Jangan diam saja, remaslah.”
Entah bagaimana, naluriku yang tidak pernah kusadari sebelumnya mengambil alih. Aku berbalik, meremas penisnya, dan bahkan memainkannya. Ia mendesah nikmat. Aku berjongkok dan menjilati penisnya, memasukkannya ke dalam mulutku. Rasanya seperti es krim kesukaanku waktu kecil. Aku menyedotnya, tidak peduli dengan desahannya, sampai akhirnya ia memuncratkan cairan hangat ke dalam mulutku.
“Aaahh… aku sudah tidak kuat,” gumamnya.
Cairan spermanya terasa manis. Aku menelannya tanpa sisa. Kapten Jacob bersandar di dinding kapal, lemas.
“Kamu hebat, Bunga,” pujinya, mencium bibirku. “Tapi jangan anggap aku sudah kalah.”
Ia mengambil sesuatu dari botol kecil dan menelannya, lalu mengambil minuman lain dari kulkas.
“Sini, Sayang,” panggilnya. “Istirahat sebentar. Ambil minum juga buatmu.”
Aku mengambil minuman yang sama. Aku meminumnya sedikit demi sedikit. Rasanya enak sekali, meskipun aku tidak bisa membaca labelnya.
“Berbaringlah di ranjang,” pintanya.
Aku menuruti. Aku terbaring telanjang di atas kasur yang empuk. Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam, tapi mataku tidak merasa ngantuk sama sekali. Aku sengaja tidak menutupi tubuhku, bahkan meremas-remas dadaku sendiri, berharap bisa membangkitkan gairahnya lagi.
Kapten Jacob bangkit, meneguk lagi minuman. Ia mendekat, mulai mengelus kakiku, lalu pahaku. Lidahnya menyapu bibir vaginaku.
“Oohh… geli…”
Ia menjulurkan lidahnya, menyentuh klitoris-ku. Aku melebarkan pahaku, dan ia semakin buas. Ia menghisapnya, sementara tangannya meremas payudaraku dan memelintir putingku.
“Oohh… aahh… teruskan, Kapten. Nikmat sekali…”
“Tahan, Sayang… biarkan aku menikmati vaginamu yang wangi ini. Aku belum pernah merasakan vagina seharum ini.”
Ia terus saja menjilati vaginaku.
“Sudah, Kapten! Masukkan penismu! Aku tidak tahan lagi!”
“Baik, Sayang. Rasakan rudalku ini,” jawabnya. “Tapi pelan-pelan. Aku masih perawan.”
“Aku akan hati-hati,” janjinya. “Buka lebar pahamu, Bunga.”
“Blesss…”
“Oohh… aahh…” desahku, saat penisnya masuk tiga perempatnya.
“Blesss… blesss…”
“Oohh…” erangku panjang. Aku tahu selaput daraku sudah robek. Ia menarik penisnya, lalu memasukkannya lagi, seirama dengan goyangan kapal.
“Blesss… blesss…”
“Oohh… aahh…”
“Aku mau keluar, Kapten,” kataku.
“Tahan, Sayang… aku juga. Kita hitung sampai tiga. Satu… dua… tiga…”
“Crott… crott… crott…”
Sperma Kapten Jacob membanjiri vaginaku. Rasanya hangat dan nikmat. Aku pun ikut keluar, membasahi dirinya. Kami terkulai lemas.
Ia lalu mengambil jarinya dan menunjukannya padaku. Ada cairan merah di sana, darah perawan. Ia menjilatnya.
“Terima kasih, Bunga. Kamu benar-benar perawan.”
Aku hanya menangis. Tapi air mataku bukan karena penyesalan, melainkan karena kenikmatan yang belum pernah kurasakan.
Aktivitas ini berlanjut sampai matahari terbit. Aku tidur sampai siang, makan, lalu tidur lagi, dan pada malam harinya, kami melakukannya lagi, berulang-ulang, seolah tak ada bosan.